BAB 1 RUANG MAKAN
“Byan, makan dulu sayang,” teriak sang Mama kepada anaknya di ruang makan, ia sedang menunggu anaknya turun ditemani dengan suaminya.
“Iya Mah… Byan turun .” Byan mulai mengabsen anak tangga satu persatu dengan memakai setelan putih abu-abunya, mata dan tangannya sibuk memasang jam tangan. Tubuhnya yang tinggi memperlihatkan cara berjalan yang tegap.
“Pagi Mah, Pah…” Suara gesekan kursi dengan lantai berbunyi, Byan langsung mendudukkan pantatnya di kursi.
“Pagi sayang,”sautan kompak dari Mama dan Papanya.
“Mukanya kenapa ditekuk kaya gitu?” Tanya sang Papa.
“Ngga papa Pa…” Jawab Byan.
Dentingan antara sendok dan piring berbunyi dalam keheningan. Tegukan susu terakhir telah ditandas oleh Byan. Byan segera mengambil tissue dan mengelapnya dibagian bibirnya.
“Byan berangkat dulu Mah, Pah… Assalaamu’alaikum…” Teriak Byan dengan berlari mengambil kunci motor kearah pintu.
“Wa’alaikummussalaam,”jawab kedua orang tuanya.
(Byan,,,Byan. Bukannya salaman dulu malah langsung lari keluar.) Batin sang Mama dalam hati, sambil terkikik pelan.
BAB 2 MANUSIA ANEH
Tuk,…tuk…tuk… Langkah tegap Byan dengan sepasang sepatunya menarik perhatian para siswi yang melintas di Koridor. Dua warna mata menunjukkan dua sorot mata yang berbeda. Mata sebelah kanan berwarna cokelat menyorotkan ketegasan, sedangkan sebelah kiri berwarna biru menyorotkan ketenangan.
“Hai Byan,”sapa salah satu siswi dengan menarik bibirnya keatas.
“Hmm.”
Begitulah Byan, sikap dinginnya membuat siapapun yang ingin mendekatinya akan memilih mundur terlebih dahulu.
“Aneh sih, tapi keren lohhh, punya dua warna mata dalam satu kepala.” “WOW WOW WOW…Manusia batu.” “Warna birunya sangat tenang dipandang.” “Warna cokelatnya sangat menakutkan dipandang.”
Sekiranya begitulah cibiran yang Byan dengar. Tapi, Byan hanya menganggapnya angin lewat. Byan melanjutkan perjalanannya menuju ke kelasnya.
BAB 3 THE GENG
“WOYY… Ngalamun terus dari tadi,”teriak seseorang dengan membawa beberapa pasukan, mereka langsung duduk dikursinya masing-masing. Sang empu hanya menatap sekilas, lalu kembali dengan aktivitasnya lagi, memangku kepalanya dengan kedua tangan.
“Ealah… Ini bocah, ada cowok ganteng 7 turunan dianggurin. Sungguh dunia ini sangat kejam.” Teriakan Orion yang menggelegar seantero kelas, membuat sang empu menghela nafas kasar menghadapi temanya yang satu ini.
“E…E…E…. Pelan-pelan kenapa. WOY, pasukan galaksi ayo ikut.” Lagi-lagi teriakan Orion terdengar didepan kelas..
“Sakit tangan adek, abang.” Bukannya mendapat perhatian, Byan malah tambah mempercepat langkahnya. Kalau dibiarin, bisa menjadi ini satu orang.
“Ya Allah, berikanlah hamba kesabaran untuk menghadapi teman hamba yang penuh drama ini. Walaupun cerewet kayak nenek lampir, tapi dia baik Ya Allah.” Byan berdoa dengan suara pelan sambil menarik lengkungan senyum, hingga menerbitkan lesung dikedua pipinya. Sedangkan Alaska, Barga, Sagar, hanya tertawa melihat kelucuan Byan dan Orion.
Disinilah mereka berada, tempat favorit para kaum penyuka langit. Dimana lagi kalau bukan Rooftop, dengan 2 risban yang berdiri kokoh dan 3 kursi biasa, sangat pas untuk mereka yang datang berlima.
“Bro, gue butuh bantuan kalian.” Ucap Byan dengan posisi tidur terlentang menghadap lengit sambil melipat kedua tangannya dibelakang kepala, tidak lupa meletakkan kaki kanan diatas kaki kirinya. Posisi yang sama terjadi pada Orion, sedangkan ketiga yang lainnya duduk dikursi ditemani dengan secangkir cokelat panas.
“Apa gerangan yang membuat si cowok pemilik warna mata beda membutuhkan bantuan anak unyil yang unyu-unyu gini?” Ucap Alaska mengerlingkan matanya.Byan yang melihatnya hanya bisa berpura-pura muntah.
“Apakah seorang Byan sudah merasakan jatuh cinta?” Pertanyaan ini keluar dari mulut Barga.
“Akhirnya setelah sekian lama, Byan jatuh cinta. Siapakah wanita yang beruntung mendapatkan lelaki yang tampan ini ya?” Ucap Sagar menebak-nebak.
“Kalian tuh, teman lagi meminta bantuan malah diledekin. Lo kenapa bro?” Inilah Orion, sifatnya kadang berubah. Kadang cerewet dan bijaksana.
“Gue mau cerita sama kalian,,,” sambung Byan.
BAB 4 MIMPI
“Bang, mau ice cream itu.” Rengekan sang adik kepada abangnya. Teriknya sinar matahari menemani mereka yang sedang di Taman, ditemani sebuah ayunan mini yang pas dengan tubuh mereka yang mungil.
“Punya kaki kan? Beli sendiri sana!” Ucapan tak bersahabat keluar dari mulut sang abang.
(Punya kembara tapi nggak peka), monolog sang adik. Mereka adalah anak kembar, dengan wajah yang sangat bertolak belakang. Sang abang berwajah Indo asli, sedangkan sang adik berwajah blasteran antara Indo Inggris. Walaupun umur mereka berjarak beberapa menit, mereka tidak memanggil sapaan nama, tapi mereka layaknya seperti kakak beradik.
Dengan perasaan kesalnya, sang adik berjalan gontai sambil menendang batu-batu kecil di pinggir jalan. Ia kebingunan ketika akan menyebrang jalan.
TIN…TIN…TIN…JEDERRR…BRAKKK…HUWAAA ABANG…
DEG. Sang abang yang sedang duduk diayunan seketika jantungnya berdegup kencang. Ia langsung berlari tak tentu arah. Kakinya berhenti, matanya terfokus pada sekumpulan orag ditengah jalan. Tanpa aba-aba, ia langsung berlari menerjang sekumpulan orang tersebut.
TES. Air matanya jatuh tanpa permisi. Ia langsung terduduk lemas. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat kepala yang berlumuran darah itu kepangkuannya.
“Dek, bangun dek, hiks hiks hiks. Abang disini. Katanya mau beli ice cream, hiks. Ayo beli bareng hiks.” Suaranya terdengar merintih diiringi tangisan. Bau amis sangat menyeruak masuk kehidung.
…..
“HAAA.” Ia terbangun dari tidurnya, dengan posisi terduduk. Badannya terasa sangat lemas dengan keringat yang bercucuran didahinya. Suasana malam menemani dalam keheningan. Ceklek. Pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya. Ia berjalan dalam keadaan tergesa dengan membawa segelas air minum dan beberapa jenis obat-obatan.
“Byan minum dulu nak,” ucap sang ibu dengan penuh kelembutan. Setelah meminum obat, Byan kembali tenang.
“Kenapa mah? Sampaikapan Byan harus kayak gini?” Ucap Byan dengan sorot mata yang sangat menyedihkan. Byan tidak tau apa yang terjadi padanya. Yang ia tau, setiap kali ia mimpi itu, kepalanya akan sakit dan keringat akan bercucuran dipelipisnya.
“Ngga papa sayang. Ini hanyalah sebuah mimpi.” Begitulah jawaban sang ibu ketika ditanya tenyang dirinya.
BAB 5 RUMAH SAKIT
Kedua matanya terbuka, menatap sekelilingnya dengan dominan warna putih. Tangannya bergerak untuk mengucek matanya, ternyata sebuah infus tertancap manis dipunggung tangan sebelah kiri. Ia baru ingat, tadi malam setelah mimpi buruknya, ia tidak bisa menahan rasa sakit dikepalanya. Kemudian,ia tak sadarkan diri.
Ceklek. Pintu terbuka menampilkan sosok laki-laki memakai setelan dokter.
“Hai adik, sudah sadar? Apa yang kamu rasakan sekarang?” Tanya sang dokter sambil mengecek keadaan Byan.
“Kepala saya sangat pusing dok,” jawaban Byan sangat pelan. Mungkin untuk sekadar berucap sangat sulit.
“Ibu kamu kemana?” Tanya sang dokter sambil menatap sekelilingnya.
“Ngga tau dok.” Jawab Byan.
“Ini kasih ke Ibumu. Nanti suruh ketemu saya jam 14.00, dengan Bapakmu sekalian.” Ucap sang dokter dengan menyerahkan amplop berlogo rumah sakit.
“Baik dok,” jawab Byan.
Dokterpun pergi meninggalkan Byan seorang diri. Dipandangnya amplop berlogo rumah sakit itu, dengan perlahan ia membuka apa yang tertulis dikertas tersebut. TES… Lagi-lagi, tangis kesedihan yang menyambutnya.
BAB 6 TITIK TERANG
“Sayang, kamu udah bangun nak,” ucap sang ibu yang duduk dikursi samping brankar Rumah Sakit.
“Udah mendingan Byan?” Tanya sang ayah.
Tidak ada sahutan satu katapun dari mulut sang anak. Byan hanya menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong. Pikirannya hanya tertuju pada satu masalah.
“Kamu kenapa Byan?” Tanya lembut dari sang ibu.
“KENAPA MAMA BILANG! APA YANG SELAMA INI MAMA SEMBUNYIIN DARI BYAN! JAWAB MAH!” Untuk pertama kalinya Byan membentak ibunya. Emosinya tidak bisa dikontrol. Pikirannya menerka apa yang sebenarnya terjadi.
“Sembunyiin apa maksudnya nak?” Ibunya bingung harus menjawab apa.
Byan hanya diam. Ia menyerahkan amplop berlogo Rumah Sakit tadi. Dengan gerakan kilat, sang ibu mengambil amplop yang ditangan Byan. DEG… Ibu dan ayahnya sama-sama terkejut. Tangannya bergetar dan mulutnya kelu untuk berbicara.
“JELASKAN MAH, PAH! APA YANG SELAMA INI KALIAN SEMBUNYIIN DARI BYAN? SAMPAI BYAN NGGA TAU PENYAKIT APA YANG DIDERITA BYAN!:” Teriakan Byan memenuhi ruang inap, ia menyesal pada dirinya sendiri, yang tidak becis mengurusi dirinya sendiri.
“Tenang Byan. Nanti kalau kamu emosi, sakit kamu akan tambah parah.” Peringat sang ayah yang khawatir akan keadaan anaknya. Ia tak pernah mengira, masa lalu yang selama ini berusaha mereka sembunyiin, mungkin inilah waktu yang tepat. Dengan menarik nafas panjang dan menyiapkan mentalnya, ayahnya akan mulai menceritakannya.
“Kamu ingat sama mimpi kamu yang sering muncul?” Tanya sang ayah.
“Iya Pah,” jawaban Byan lebih tenang, kareba ibunya yang mengelus kepalanya dengan lembut.
“Dua kakak beradik itu kamu dan adikmu. Kamu punya kembaran Byan.” Aayahnya tidak kuat melanjutkan ceritanya. Ia sangat merindukan anaknya yang satu. Anak yang sangat mirip dengannya, dengan muka blasteran Inggris.
“Lalu, kemana kembaran Byan Pah? Byan juga pengin ketemu.” Kepala Byan dipenuhi dengan tanda tanya.
“Kembaran kamu udah meninggal, hiks hiks,” jawaban ibunya mebuat Byan semakin menangis. Sang ibu merengkuh anaknya dengan kasih sayang. Keluarga itu menangis mengingat masa lalu.
“Kamu tau kenapa matamu berbeda warna? Mata warna biru itu milik adikmu, namanya Abyan. Setelah kecelakaan waktu itu, kami membawanya ke Rumah Sakit. Kamu pingsan akibat melihat darah terlalu banyak. Sebelum Abyan pergi, ia meminta dua permintaan. Permintaan pertama Abyan ingin mengganti matamu. Abyan ingin selalu disamping abangnya. Permintaan kedua, Abyan ingin abangnya tidak pernah mengingatnya tentang peristiwa kecelakaan dulu. Akhirnya, kami memutuskan untuk menghilangkan ingatanmu. Rasa sakit kepala yang kamu rasakan akan timbul ketika kamu berusaha mengingatnya. Kami memberimu oobat penenang atas permintaan dokter. Penyakitmu yang sekarang ini juga kami baru tau. Kita berdoa saja, semoga tuhan menyembuhkan penyakitmu ini Byan.” Ucap ayahnya dengan penuh kewibawaan.
BAB 7 PENANTIAN TERAKHIR
Tiga tahun berlalu. Sepasang suami istri sedang duduk dikursi samping brankar Rumah Sakit. Setelah mengetahui bahwa Byan menderita penyakit gagal ginjal, orang tuanya segera mencari pendonor ginjal.Setelah mendapatkannya, orang tuanya sangat bahagia. Operasi segera dilakukan, teapi tuhan berkehendak lain, Byan mengalami koma dalam waktu yang sangat lama. Dokter sudah berkali-kali akan melepaskan alat bantu yang menempel diseluruh tubuh Byan, tetapi kedua orang tuanya selalu menolaknya.
“Sayang, kamu mimpi indah terus ya? Ngga kangen sama Mamah sama Papah?” Ucap ibunya dengan menggenggam tangan Byan yang semakin hari bertamnah kurus.
“Pah,jarinya Byan bergerak. Panggil dokter Pah. CEPETAN.” Ibunya terlihat sangat senang, sedangkan ayahnya langsung berlari keluar.
“Byan…. Bangun nak… Ini Mamah.”
Air mata menetes dari mata Byan. “Abyan…Abyan…” Mulut Byan mengucapkan kata Abyan dengan suara rintihan.
Ceklek. Ayahnya datang ditemani Dokter Jafar.
“Gimana Mah?” Tanya sang ayah.
“Byan nyebutin nama Abyan.” Ucap pelan sang ibu.
“Pak, Bu, anak kalian sudah melewati masa kritisnya,” ucap tegas Dokter Fajar kepada kedua orang tua Byan.
“Alhamdulillah Ya Allah.” Kedua orang tua itu tidak berhentinya mengucap rasa syukur.
“Sebentar lagi anak kalian akan sadar. Mohon, jangan diingatkan tentang masa lalunya, itu akan membawa pengaruh buruk bagi anak kalian.”Peringat dokter. Kedua orang tua mengangguk tanda mengerti. Kemudian dokter pamit keluar.
“Mah…Pah…”
Byan telah sadar. Ayah dan Ibunya langsung memeluk Byan.
“Mah, Pah. Byan udah ketemu Abyan. Abyan udah besar, Abyan juga sangat ganteng. Byan mau ikut Abyan, Abyan ngajak Byan ke taman yang banyak bunganya, disana juga banyak sungai.” Ucapan Byan merancu.
“Kamu ngomong apa sih Byan. Mamah ngga suka kamu ngomong kaya gitu.”
Byan tidak memperdulikan orang tuanya akan berbicara apa tentang dirinya.
“Mah, Pah, Abyan kangen banget sama kalian. Tapi ketika Abyan melihat matanya yang biru ini, Abyan bisa merasakan apa yang Byan rasakan. Abyan juga merasakan kasih sayang Mamah sama Papah.” Ucap Byan. Sedangkan kedua orang tuanya sudah menangis sesenggukan. Mereka tidak rela jika anaknya pergi lagi.
“Mah, Pah, Byan menunggu Mamah sama Papah disana ya. Byan mau ikut Abyan, Byan ngga kuat menahan sakit ini.” Ucap Byan dengan suara yang hampir tidak terdengar.
“Tidak Byan. Kamu anak Mamah satu-satunya, hiks hiks. Kamu ngga boleh ninggalin Mamah, hiks.” Ibunya menangis histeris.
“Byan kamu anak satu-satunya Papah. Semoga kamu tenang disana sama kembaranmu.” Walaupun terdengar tegar, hati orang tua mana yang tidak merasa sakit.
Tit…tit…tit….
Suara monitor terdengar, garis lurus terpampang jelas. Mungkin inilah waktunya Byan hidup bersama kembarannya, Abyan.