Bermacam-macam tanggapan orang, saat beberapa pegiat media sosial menunjukkan perhitungan mundur menjelang ramadan. Berbeda pula, dalam menyikapi apa yang dilakukan sebelum ramadan tiba. Terutama menghadapi hari pertama puasa. Banyak yang mengatakan, hari pertama puasa bagi yang jarang puasa sunah, adalah perjuangan yang tidak ringan. Bagi para pekerja yang harus bersinergi dengan panasnya matahari, pasti akan melakukan strategi, agar puasa hari pertama sukses. Ada juga yang berfikir lebih luas dan mendalam, yaitu bagaimana mempersiapkan hati, jiwa, mental menuju bulan yang mulia ini.
Saya pernah berbincang dengan salah seorang peternak kambing. Beliau memiliki 8 ekor kambing yang sudah besar-besar. Setiap harinya, harus mencari rumput yang jauhnya sampai beberapa kilometer, dari rumahnya. Beliau mengayuh sepeda jengki warna biru, setiap hari. Di bagian belakang, ada karung kandi dan sabit.
Beliau bercerita, satu hari, harus berangkat dua kali untuk memenuhi makan 8 ekor kambing. Satu hari itu juga, beliau harus menyiapkan minimal dua botol air minum, kadang-kadang sekalian membawa nasi untuk sarapan atau makan siang. Dapat pembaca bayangkan, kalau sebelum ramadan, haus dapat langsung mengambil air minum. Lapar, dapat langsung ambil bekal nasi atau apapun yang dibawanya. Bagaimana kalau kondisi itu saat menjalankan puasa ramadan?.
Saya salut dengan strategi yang dilakukan, agar tetap selalu dalam ketaatan, dan juga tetap menjalankan aktivitas harian yang tidak boleh ditawar-tawar. Untuk menghindari teriknya matahari, beliau berangkat lebih awal dari biasanya. Sehingga wadah rumput, sudah penuh, sebelum matahari dalam kondisi sedang panas-panasnya. Kemudian berangkat yang kedua, setelah matahari mulai tahap mendinginkan sinarnya.
Bersyukurlah bagi yang bekerja di dalam ruangan ber AC atau di ruangan yang terhindar dari sinar matahari. Mestinya harus lebih menunjukkan ketaatannya, dibandingkan dengan bapak yang sehari-harinya harus berada di tempat yang panas.
Ketaatan itu berasal dari jiwa atau rohani yang mantap. Tidak ada penghalang apapun, apabila iman sudah ada di dalam dada. Keyakinan bahwa puasa itu adalah perintah Allah Swt, maka yang harus kita lakukan adalah sami’na waatho’na, aku mendengar dan aku laksanakan. Apapun kondisinya, panas, dingin, hujan, gelap, terang.
Sepuluh hari terakhir bulan ramadan, saya juga mendapatkan cerita inspiratif. Kebetulan saya dipertemukan dengan seorang pekerja bangunan yang sedang i’tikaf disebuah masjid. Usianya sudah tidak muda lagi, tetapi belum terlalu tua. Kita sangat faham, tukang bangunan, pasti selalu bersinggungan dengan matahari. Kemudian kita juga tahu, apabila tukang bangunan itu tidak berangkat bekerja, maka otomatis juga tidak mendapatkan upah.
Saya malu dengan diri sendiri, keyakinan tukang bangunan ini luar biasa. Berani tidak bekerja, untuk memuliakan sepuluh hari terakhir bulan ramadan. Menurutnya, kalau uang menjadi sandaran, maka tidak pernah akan puas. Dapat melaksanakan i’tikaf di bulan ramadan, sungguh nikmatnya luar biasa. Dia juga menyampaikan, Allah Swt pasti tidak akan menelantarkan keluarganya, saat selalu dalam ketaatan. Bahkan menurut teman yang berada di sampingnya, saat bekerja di luar bulan ramadan, setiap berangkat selalu membawa bekal sarung, baju koko dan kopiah, untuk shalat dhuhur dan asar di lokasi proyek. Saya hanya berkata-kata dalam hati, dahsyat, luar biasa, amazing.
Pembaca yang budiman, muaranya adalah iman. Kalau iman sudah tumbuh subur dalam tubuh manusia dan ketaatan menjadi nomer satu atau menjadi panglima, maka Allâh Swt akan memberikan taufikNya berupa kemudahan dalam menjalankan bentuk-bentuk ketaatan kepada Sang Maha Penentu Segalanya, Allah Swt. Orang yang dalam kondisi berat saja, tetap dapat melakukan ketaatan, apalagi disaat kondisi yang ringan. Di bulan ramadan, kita merasakan kondisi haus, lapar, dahaga saja dapat terus istiqomah beribadah, apalagi di luar ramadan, mestinya kita harus lebih semangat lagi. Apalagi kita tahu, tanda diterimanya amalan kita, adalah ada amalan-amalan selanjutnya.